HANYA sedikit kota di Indonesia yang memiliki perpustakaan. Di kota besar lebih parah lagi, hkarena ampir semua areal dikepung pusat bisnis maupun perkantoran. Tidak ada ruang untuk perpustakaan yang dapat mencerdaskan bangsa.
Kondisi itu diperparah dengan mahalnya harga buku. Seakan buku bacaan hanya untuk mereka yang berduit. Rakyat miskin nanti dulu. Maka, proses pembodohan massal pun terjadi. Dampak dari mahalnya buku dan sedikitnya kesadaran untuk membangun perpustakaan, membuat minat baca di Indonesia semakin minim. Minimnya tingkat baca pada akhirnya berjabatan erat dengan minimnya kemampuan baca.
Pada 1992 Internasional Associations for Evaluation of Educational (IEA) membuat studi di 30 negara tentang kemampuan membaca anak-anak SD. Hasilnya Indonesia menduduki urutan ke-29.
Laporan World Bank menyebutkan kemampuan membaca anak SD di Indonesia di bawah negara Asia lainnya.
Data itu bisa dijabarkan lebih jauh lewat dunia penerbitan buku. Indonesia mampu menerbitkan 12 ribu judul buku dalam satu tahun. Dengan asumsi setiap judul dicetak 3.000 eksemplar (rata-rata memang demikian). Maka dalam satu tahun ada sekitar 36 juta buku.
Lalu, bagi rata saja dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta. Hasilnya angka 6,6 atau jika dibulatkan menjadi 7. Itu berarti 1 buku dibaca 7 orang dalam satu tahun.
Kondisi itu diperparah dengan mahalnya harga buku. Seakan buku bacaan hanya untuk mereka yang berduit. Rakyat miskin nanti dulu. Maka, proses pembodohan massal pun terjadi. Dampak dari mahalnya buku dan sedikitnya kesadaran untuk membangun perpustakaan, membuat minat baca di Indonesia semakin minim. Minimnya tingkat baca pada akhirnya berjabatan erat dengan minimnya kemampuan baca.
Pada 1992 Internasional Associations for Evaluation of Educational (IEA) membuat studi di 30 negara tentang kemampuan membaca anak-anak SD. Hasilnya Indonesia menduduki urutan ke-29.
Laporan World Bank menyebutkan kemampuan membaca anak SD di Indonesia di bawah negara Asia lainnya.
Data itu bisa dijabarkan lebih jauh lewat dunia penerbitan buku. Indonesia mampu menerbitkan 12 ribu judul buku dalam satu tahun. Dengan asumsi setiap judul dicetak 3.000 eksemplar (rata-rata memang demikian). Maka dalam satu tahun ada sekitar 36 juta buku.
Lalu, bagi rata saja dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta. Hasilnya angka 6,6 atau jika dibulatkan menjadi 7. Itu berarti 1 buku dibaca 7 orang dalam satu tahun.
Peran pemerintah
Apa sebenarnya yang terjadi? Menurut penulis selain masalah kebijakan, para pejabat juga menjadi contoh yang kurang memotivasi.
Coba datang ke rumah salah satu petinggi, hampir bisa dipastikan ruang tamunya penuh hiasan atau pajangan hasil plesiran ke luar negeri, potret keluarga dan piagam penghargaan.
Berbeda dengan petinggi dan para tokoh di zaman Orde Lama, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, atau pun Tan Malaka. Dalam aneka biografi selalu disebutkan buku-buku terserak di setiap ruangan.
Pemimpin di zaman dahulu memberikan teladan kepada rakyatnya untuk gemar membaca. Bung Karno gemar membaca sampai ke-toiletpun ia membawa buku. Bung Hatta jika kembali lawatan dari luar negeri membawa berpeti-peti buku. Maka, tidak mengherankan jika prilaku membaca rakyat pun kian menyurut.
kecilnya aktivitas membaca di Indonesia juga nampak dari eksemplar surat kabar. Tiras surat kabar yang paling terkenal tidak mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Anak Indonesia sedikit yang memiliki minat baca. Kalaupun ada lebih senang membaca komik atau majalah selebritas. Lebih tertarik tabloid bernuansa gosip yang terbukti laku keras ketimbang bacaan berunsur pengetahuan dan karya sastra.
Padahal anak-anak di negeri tetangga seperti Singapura atau Malaysia gemar membaca buku berbobot. Jangan heran jika melihat pelajar antre beli tiket bioskop sambil membaca buku karya Profesor Stephen Hawkins. Di dalam bus mereka asyik membaca buku sastra.
Tugas menumbuhkan minat baca yang utama ada pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas yang berat karena angkatan muda yang tak gemar membaca akan menjadi lemah dan tidak berdaya saing.
Untuk mengatasi ini, barangkali pemerintah harus gencar mendirikan perpustakaan disetiap kelurahan. Juga rajin mencetak buku-buku murah hingga terjangkau kantong rakyat.
Apa sebenarnya yang terjadi? Menurut penulis selain masalah kebijakan, para pejabat juga menjadi contoh yang kurang memotivasi.
Coba datang ke rumah salah satu petinggi, hampir bisa dipastikan ruang tamunya penuh hiasan atau pajangan hasil plesiran ke luar negeri, potret keluarga dan piagam penghargaan.
Berbeda dengan petinggi dan para tokoh di zaman Orde Lama, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, atau pun Tan Malaka. Dalam aneka biografi selalu disebutkan buku-buku terserak di setiap ruangan.
Pemimpin di zaman dahulu memberikan teladan kepada rakyatnya untuk gemar membaca. Bung Karno gemar membaca sampai ke-toiletpun ia membawa buku. Bung Hatta jika kembali lawatan dari luar negeri membawa berpeti-peti buku. Maka, tidak mengherankan jika prilaku membaca rakyat pun kian menyurut.
kecilnya aktivitas membaca di Indonesia juga nampak dari eksemplar surat kabar. Tiras surat kabar yang paling terkenal tidak mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Anak Indonesia sedikit yang memiliki minat baca. Kalaupun ada lebih senang membaca komik atau majalah selebritas. Lebih tertarik tabloid bernuansa gosip yang terbukti laku keras ketimbang bacaan berunsur pengetahuan dan karya sastra.
Padahal anak-anak di negeri tetangga seperti Singapura atau Malaysia gemar membaca buku berbobot. Jangan heran jika melihat pelajar antre beli tiket bioskop sambil membaca buku karya Profesor Stephen Hawkins. Di dalam bus mereka asyik membaca buku sastra.
Tugas menumbuhkan minat baca yang utama ada pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas yang berat karena angkatan muda yang tak gemar membaca akan menjadi lemah dan tidak berdaya saing.
Untuk mengatasi ini, barangkali pemerintah harus gencar mendirikan perpustakaan disetiap kelurahan. Juga rajin mencetak buku-buku murah hingga terjangkau kantong rakyat.
Peran masyarakat
Setiap perbuatan pasti memiliki akibat. Malas membaca mengakibatkan sebuah bangsa miskin pengetahuan dan kurang kreatifitas. Masyarakatnya jadi berwawasan sempit, gampang diperdaya, kurang memiliki daya analisa kritis terhadap persoalan hingga rapuh dalam kepribadiaan.
Sekarang kita lebih menyukai budaya lisan. Padahal budaya lisan memiliki keterbatasan, karena hanya melihat sesuatu dari kulit, kurang mendalam.
Beda dengan budaya Literer (budaya baca). Orang literer mampu melihat dan berpikir abstrak, melihat substansi peristiwa, cakap membuat kesimpulan dan cendrung tidak gegabah.
Kurang membaca jelas mengakibatkan kurangnya pengetahuan. Kurang pengetahuan membuat masyarakat bertindak tanpa pikir panjang dan mudah terhasut. Main hakim sendiri dan mudah mengambil jalan pintas saat menemui kendala dalam hidup hanya dua dari sekian banyak hal yang secara tidak langsung dipengaruhi kurangnya minat baca.
Karena itu, penulis berharap sebagian masyarakat yang sudah memahami pentingnya menumbuhkan minat baca ikut berpartisipasi. Bisa dimulai dari bagaimana menumbuhkan minat baca di lingkungan terdekat.
Peran keluarga juga sangat penting. Orangtua sudah seharusnya memberi teladan dan juga menciptakan iklim di rumah yang bisa membuat anak-anak termotivasi membaca.
Setiap perbuatan pasti memiliki akibat. Malas membaca mengakibatkan sebuah bangsa miskin pengetahuan dan kurang kreatifitas. Masyarakatnya jadi berwawasan sempit, gampang diperdaya, kurang memiliki daya analisa kritis terhadap persoalan hingga rapuh dalam kepribadiaan.
Sekarang kita lebih menyukai budaya lisan. Padahal budaya lisan memiliki keterbatasan, karena hanya melihat sesuatu dari kulit, kurang mendalam.
Beda dengan budaya Literer (budaya baca). Orang literer mampu melihat dan berpikir abstrak, melihat substansi peristiwa, cakap membuat kesimpulan dan cendrung tidak gegabah.
Kurang membaca jelas mengakibatkan kurangnya pengetahuan. Kurang pengetahuan membuat masyarakat bertindak tanpa pikir panjang dan mudah terhasut. Main hakim sendiri dan mudah mengambil jalan pintas saat menemui kendala dalam hidup hanya dua dari sekian banyak hal yang secara tidak langsung dipengaruhi kurangnya minat baca.
Karena itu, penulis berharap sebagian masyarakat yang sudah memahami pentingnya menumbuhkan minat baca ikut berpartisipasi. Bisa dimulai dari bagaimana menumbuhkan minat baca di lingkungan terdekat.
Peran keluarga juga sangat penting. Orangtua sudah seharusnya memberi teladan dan juga menciptakan iklim di rumah yang bisa membuat anak-anak termotivasi membaca.
SUMBER : http://irwanwisanggeni.wordpress.com/2010/03/01/bangsa-yang-tidak-gemar-membaca/
0 komentar:
Posting Komentar